Rabu, 18 Februari 2009

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

Oleh: Kasmuri,SE

Dalam sejarah peradaban manusia selalu diwarnai dengan peristiwa-peristiwa baik itu yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan. Seakan itu menandakan bahwa Tuhan menciptakan kehidupan itu dengan dinamikanya yaitu berisi dua hal yang saling berbeda; ada siang ada malam, ada jenis kelamin laki-laki dan perempuan, ada yang kuat dan lemah dan demikian juga ada kondisi kaya dan miskin. Hal ini artinya bahwa terkadang kita harus sepakat bahwa fenomena kemiskinan adalah merupakan fenomena yang tidak mungkin dapat dihilangkan keberadaannya dari kehidupan manusia karena merupakan salah satu bagian dari dinamika kehidupan itu sendiri. Namun pendapat ini juga tidak bisa menjadi alat justifikasi untuk membiarkan kemiskinan merajalela dalam masyarakat tanpa ada upaya pengentasannya.. karena secara hak asasi, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan kehidupan yang layak dalam hidupnya. Disamping itu juga dalam teks agama juga ada perintah agar manusia selalu berusaha menjadi kaya dengan cara bekerja keras seolah-olah akan hidup selama-lamanya dan agama juga melarang manusia untuk hidup bermalas-malasan sehingga tidak bersemangat dalam menjalani kehidupan dunia. Dalam teks agama juga banyak kita jumpai perintah untuk membantu orang miskin dengan melalui amal social dan kegiatan-kegiatan lainnya. Sementara dalam perspektif social bahwa kemiskinan adalah biang keladi daripada timbulnya kerawanan social. Hal ini menandakan bahwa kemiskinan bukanlah kondisi yang kondusif yang harus di biarkan begitu saja tapi harus diupayakan dengan serius dalam upaya-upaya penanggulangan atau pengentasannya.

Hal yang terpenting dalam pengentasan kemiskinan adalah harus diketahui secara mendasar penyebab kemiskinan tersebut; dengan kata lain mengapa orang menjadi miskin?
Banyak paradigma yang menjelaskan fenomena kemiskinan namun kalau kita menengok analisis klasik soal kemiskinan, setidaknya ada tiga perspektif yang berbeda dalam melihat kemiskinan. Pertama, kemiskinan dilihat sebagai manifestasi dari takdir. Orang menjadi miskin karena sudah ditakdirkan terlahir dari keluarga miskin. Kemiskinan adalah kehendak Tuhan. Dengan demikian, manusia hanya diberi satu pilihan untuk mengubah keadaan: berdoa. Jika Tuhan menghendaki, maka apa pun bisa terjadi, termasuk mengubah orang yang tadinya miskin menjadi kaya raya. Perspektif ini melihat masalah kemiskinan sebagai femonena transendental. Kedua, kemiskinan dilihat sebagai akibat dari mentalitas orang yang bersangkutan. Orang menjadi miskin karena malas, bodoh dan tidak mau bekerja keras. Termasuk dalam kategori ini adalah anggapan bahwa orang miskin tidak memiliki etos kerja. Perspektif ini mewakili pandangan yang melihat kemiskinan sebagai fenomena sosial. Ketiga, kemiskinan dilihat sebagai akibat dari struktur yang tidak memberi peluang kepada orang miskin untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Berbeda dengan dua perspektif di atas, perspektif ini melihat kemiskinan sebagai ciptaan struktur. Seseorang menjadi miskin bukan karena dia ditakdirkan lahir dari keluarga miskin, juga bukan karena malas, bodoh dan atau tidak punya etos kerja yang tinggi, tetapi lebih karena struktur memang menghendaki begitu. Dalam perspektif terakhir inilah dikenal istilah kemiskinan struktural.

Program Penanggulangan Kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat yang akhir-akhir ini mulai menjadi program unggulan pemerintah guna menanggulangi kemiskinan, sudah mulai tampak indikasinya mampu secara efektif dalam menjawab masalah kemiskinan. Tentunya program pemberdayaan masyarakat harus banyak belajar dari pengalaman program-program pada masa orde baru dimana kegagalan program disebabkan kurang tepatnya manajemen pengelolaan dan pengendalian program. Tepatnya Program-program pemerintah harus melakukan pembenahan dan manajemen program terutama dengan mengikutsertakan berbagai unsur masyarakat (stakeholders) untuk ambil bagian dalam mensukseskan program pemerintah. Hal yang paling penting adalah keharusan adanya pendampingan/fasilitator dalam program tersebut. Hal ini didasari karena masyarakat kita masih terkungkung dalam segala ketidakberdayaan sehingga perlu didampingi dan di arahkan untuk menjadi berdaya yang menyadari potensi dan masalahnya. Maka peranan pendamping dalam hal ini akan sangat menentukan keberhasilan sebuah program.

Sementara itu, Sebagai sikap tanggap pemerintah propinsi Jawa Timur dalam rangka menanggulangi kemiskinan adalah dengan berdirinya Unit Pengelola Keuangan (UPK) program Gerdu-Taskin yang bergerak dalam usaha pemberdayaan masyarakat guna mengerem angka kemiskinan dengan usaha penanggulangan kemiskinan. Peran dan Fungsi UPK ini sudah sangat terbukti mampu membantu masyarakat desa dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Unit Pengelola Keuangan (UPK) sebagai Lembaga Keuangan Mikro Desa berfungsi sebagai Lembaga yang menyediakan modal usaha bagi Rumah Tangga Miskin di pedesaan dengan memberikan kemudahan dalam pelayanannya. Melalui usaha Simpan Pinjam (USP) Pokmas diharapkan mampu memenuhi kebutuhan modal usaha masyarakat, dimana selama ini masyarakat kesulitan dalam mengakses pinjaman modal usaha dari lembaga keuangan seperti Bank dan sejenisnya. Kesulitan dalam akses modal tersebut di karenakan bahwa lembaga keuangan Bisnis menerapkan sistem dan prosedur pinjaman yang terlalu ketat dan rumit yang tidak mungkin dapat dipenuhi oleh masyarakat tingkat menengah ke bawah. Sementara itu ditengah kesulitan masyarakat dalam mengakses kebutuhan modal tersebut, ada sekelompok orang yang mengambil untung dengan mengambil ”kesempatan dalam kesempitan” yang kemudian diatas namakan Lembaga-lembaga berbendera ”ekonomi kerakyatan” namun padahal mereka adalah para rentenir berkedok ”dewa penolong” yang mencekik leher kaum Miskin dengan memberikan pinjaman berbunga tinggi dan bahkan kadang bunga berbunga. Oleh karena itu, keberadaan Unit Pengelola Keuangan (UPK) Program Gerdu-Taskin Propinsi Jatim dalam keberadaannya diharapkan mampu memerangi praktek rentenir di pedesaan.

Unit Pengelola Keuangan (UPK) Gerdu-Taskin sebagai lembaga masyarakat yang bertugas mengelola kegiatan keuangan dapat di ibaratkan seperti makhluk hidup yang lahir tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya manusia. Dalam perjalanan UPK sebagai lembaga masyarakat Desa tentu dengan kondisi desa yang ada di jawa timur dimana sosial budaya dan kesadaran masyarakatnya masih terbilang rendah tentu tidak mudah bagi pengelola UPK untuk membesarkan dan mengembangkan UPK, rintangan dan tantangan baik yang berasal dari internal maupun eksternal desa pasti akan selalu tampak dalam perkembangan perjalanan UPK. Hal ini disadari bahwa UPK sebagai lembaga pengelola keuangan desa bergerak dalam pelayanan modal usaha dengan sistem bergulir (revolving fund) dapat berjalan lancar ketika didukung oleh kesadaran masyarakat yang tinggi terutama dari pemerintahan desa setempat, jika yang terjadi sebaliknya maka UPK dapat dipastikan akan berjalan tersendat bahkan terkadang tidak jalan sama sekali.
Fakta yang terjadi dilapangan setelah pasca program pendampingan rata-rata UPKdihadapkan pada permasalahan rumit terkait dengan tunggakan pinjaman yang awalnya kolektibilitas macet itu relatif kecil tapi karena kurangnya upaya-upaya penagihan maka tunggakan tersebut menjadi semakin besar dan pada akhirnya akan memicu kecemburuan antar pokmas sehingga terjadi pembangkangan secara kolektif (macet berjama`ah). Pertanyaan kritis yang muncul adalah kenapa kok terjadi kemacetan pinjaman?bukankah UPK telah menerapkan sistem pelayanan yang tidak memberatkan Pokmas? Mengapa ketika masyarakat pinjam di rentenir atau lembaga Perkreditan lainnya yang sistem bunganya tinggi kok lancar tapi mengapa kalau pinjam di UPK dengan sistem yang sangat mudah tapi kok macet? Seringkali muncul jawaban klasik yang selalu dikaitkan dengan kesadaran masyarakat yang rendahlah penyebab masalah tersebut. Memang alasan itu benar akan tetapi tidak semuanya benar. Menurut pendapat penulis ada beberapa penyebab kemacetan pinjaman diantaranya: pertama; bahwa proses penjaringan pengurus UPK kurang matang; dalam hal ini pendamping biasanya dihadapkan pada kepentingan kepala desa dimana calon pengurus yang diajukan adalah orang-orangnya kepala desa;hal ini tidak menjadi masalah ketika intervensi kepala desa bersifat positif tapi jika sebaliknya maka akan membahayakan eksistensi UPK. Disamping itu proses penjaringan yang kurang matang akan mereduksi prinsip profesionalisme dengan kata lain akan menghasilkan SDM lemah karena tidak berlaku kaidah The right man in the right place. Dalam hal ini pendamping harus jeli dan mampu memainkan peran sebagai setting plan sehingga orang-orang yang tidak mempunyai kapabilitas dan kredibilitas dapat di minimalisir. Kedua; sistem dan prosedur pinjaman kurang dilaksanakan sesuai dengan Pedum dan PTO program; sebagai lembaga keuangan yang bergerak dalam Usaha simpan Pinjam maka seharusnya UPK menerapkan SISDUR sebagaimana lembaga perbankan, perkreditan maupun leasing. Pada Umumnya Prinsip 5C dalam pemberian kredit di perbankan maupun lembaga keuangan lain telah digunakan selama bertahun-tahun dan kenyataannya pada saat ini masih terus dipergunakan. Prinsip ini meliputi:

a. Character (watak);
Karakter tidak diragukan lagi adalah faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan jika ingin memberikan kredit. Apabila debitur tidak jujur, curang,ataupun incompetence, maka kredit tidak akan berhasil tanpa perlu memperhatikan faktor-faktor lainnya. Orang yang tidak jujur ataupun curang akan selalu mencari jalan untuk mengambil keuntungan. Jika seseorang tidak ingin membayar kembali kreditnya, kemungkinan ia akan mencari jalan untuk menghindari membayar kembali. Untuk itu,penilaian karakter debitur harus ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk mendapatkan pinjaman.

b. Capacity (Kemampuan);
Kapasitas peminjam dalam kemampuannya mengembalikan pinjaman. Biasanya berkaitan dengan penghasilan bersih seseorang dalam satu bulan setelah dikurangi biaya-biaya.

c. Capital (Modal);
Modal (capital) berhubungan dengan kekuatan keuangan dari si peminjam. Ada beberapa cara untuk menentukan apakah modal seseorang itu memuaskan. Langkah pertama adalah mendapatkan laporan asset dan passiva dari si peminjam dan harus dipastikan data tersebut akurat. Beberapa lembaga pinjaman mempunyai aturan-aturan pinjaman yang memuat batas ratio maksimal asset dan passiva.

d. Conditions;
Conditions, dapat dilihat melalui dua kategori, yaitu kondisi internal dan kondisi eksternal yang akan mempengaruhi peminjam dan kemampuan debitur untuk mengembalikan. Kedua belah pihak baik bank maupun debitur menyusun kontrak yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan kredit, biaya dan bunga. Bank berhak mengetahui tujuan dari pinjaman. Hal ini membantu bank menilai resiko dari pinjaman, tipe dari produk pinjaman dan keamanan apa yang diperlukan. Bank tidak memberikan kredit untuk tujuan yang illegal misalnya memberikan kredit untuk tujuan yang dapat membahayakan lingkungan.

e. Collateral (Jaminan).
Collateral (agunan) diperlukan untuk menanggung pembayaran kredit macet. Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. agunan berfungsi sebagai jaminan tambahan.

Masalah yang muncul selanjutnya ketika diterapkan prinsip 5c adalah apakah dengan persyaratan tersebut bukankah malah akan memberatkan orang miskin?bagaimana mungkin orang miskin mempunyai jaminan (agunan)? Sebenarnya prinsip 5c tidak memberatkan bagi orang miskin, karena dapat di atur teknik penerapannya dengan memberikan kemudahan yaitu dengan sistem pokmas dan tanggung renteng jaminan. Katakanlah satu pokmas satu jaminan dan berlaku sistem tanggung renteng maka kendala penerapan jaminan dapat teratasi. Memang dalam hal ini butuh kepercayaan yang tinggi antar anggota pokmas. Ketiga; komitmen dan kesadaran melestarikan program dari aparatur pemerintahan desa masih lemah. secara kajian analisis sosio kultur mayarakat desa masih terbiasa dengan pola kepemimpinan patriakal sentralistik (feodalisme) atau ”sendiko dawuh” sebagai falsafah budaya jawa. Pola Kepemimpinan semacam ini sangat tergantung pada sikap keteladanan dari pemuka desa (kaum elit desa). Sikap pemuka Desa masih dianggap sebagai norma etik tindakan. Dalam pola kepemimpinan semacam ini seharusnya orang desa lebih mudah diarahkan dan di bina. Oleh karena itu seandainya pemuka/aparatur desa mau benar-benar berkeinginan mengembangkan UPK maka seharusnya UPK berjalan lancar. Tapi kebanyakan sering kita jumpai pihak pemuka/aparatur desa sebagai pemicu masalah di UPK dengan tindakan-tindakan penyelewengan dana UPK. Keempat; Peran dan Fungsi Sektap Kabupaten dan TFK kurang dimaksimalkan; Sektap Kabupaten dan Tenaga Fasilitator Kecamatan (TFK) sebenarnya mempunyai peran yang sangat penting dalam eksistensi UPK. Sebagai petugas yang berseragam dinas seharusnya Sektap dan TFK mempunyai kekuatan dan wibawa yang sangat kuat dalam mempengaruhi keberadaan UPK. Sektap dan TFK adalah merupakan pendamping abadi program yang secara struktural memang sudah diarahkan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan dalam upaya-upaya kemajuan UPK namun dalam kenyataannya pada umumnya belum mengambil peran yang signifikan dalam pendampingan UPK sehingga pertanyaan yang muncul adalah siapakah yang akan mendampingi UPK ketika pendampingan Tenaga Pendmping Masyarakat (TPM) sudah berakhir masa tugasnya (kontrak kerja)? Tentunya adalah Sektap Kabupaten dan TFK. Kelima; belum adanya keberanian oleh Pengelola Program untuk menyelesaikan tindakan kriminal secara hukum; tiap diketahui adanya penyelewengan dana oleh oknum tertentu belum ada tindakan yang serius ketika upaya musyawarah tidak membuahkan hasil yang maksimal. Sehingga telah menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga UPK yang ujung-ujungnya terjadi tunggakan besar-besaran sebagai wujud aksi protes secara diam oleh Pokmas lainnya. Saya pikir sudah waktunya pengelola program melakukan penyelesaian masalah-masalah kriminal yang sudah tidak bisa di tolerir ke ranah hukum sehingga akan menimbulkan aspek jera pada pelaku dan yang lain.

Related Post



0 komentar:

Posting Komentar

KOMENTAR