Senin, 02 Maret 2009

DILEMATIKA BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes)

Oleh : Kasmuri,SE

Banyaknya Program Pemberdayaan Masyarakat dewasa ini menunjukan bahwa pemerintah mulai serius dalam mengentaskan masyarakat dari ketidakberdayaannya yang kemudian diberdayakan melalui sebuah program pemberdayaan usaha. Kegiatan yang paling menonjol adalah terbentuknya lembaga keuangan mikro yang bergerak dalam penyediaan modal usaha bagi Rumah Tangga Miskin. Lembaga keuangan Mikro tersebut biasa di sebut dengan Unit Pengelola Keuangan (UPK) yang bertugas mengelola dana program dari pemerintah.

Pada awalnya keberadaan UPK di perdesaan dalam legalitas kelembagaannya memang masih sederhana yaitu biasanya hanya berupa Surat Keputusan Kepala Desa namun dengan seiring perkembangan UPK tentunya legalitas semacam ini dirasa belum bisa melegitimasi keberadaan UPK dalam dinamika kelembagaan secara umum. Masalah yang akan muncul dengan kelembagaan yang masih lemah adalah ketika keharusan UPK untuk melakukan ekspansi keluar dengan melakukan kerjasama usaha dengan pihak lain. Maka hal yang mutlak di syaratkan adalah keabsahan legitimasi lembaga UPK dimata hukum. Tentunya legalitas tersebut adalah legalitas yang berdasarkan akta notaris.

Pertanyaan yang muncul adalah bentuk badan usaha apakah UPK itu?apakah bank atau koperasi ataukah CV dan sebagainya?
Dalam konteks UPK secara kelembagaan memang masih dipertanyakan; hal ini disadari karena UPK adalah merupakan embrio terbentuknya Badan Usaha Milik desa (BUMDes) yang bertujuan sebagai media pengentasan kemiskinan di desa. Setelah ada BUMDes di harapkan pemerintah desa mempunyai alat guna melaksanakan tugas pemberdayaan masyarakat. Namun kenyataannya legalitas BUMDes pada tingkat desa hanya bisa di tingkatkan maksimal menjadi Peraturan Desa (Perdes) dan setelah itu guna menguatkan kelembagaan adalah dengan peningkatan legalitas berdasarkan akta notaris. Namun Faktanya peningkatan legalitas lembaga melalui notaris seringkali mengalami kendala dalam proses pengurusannya. Kendala tersebut muncul terkait dengan bentuk kelembagaan BUMDes yang masih belum familiar di mata hukum. Memang istilah BUMDes masih termasuk hal baru dalam keberadaannya.

Ada beberapa masalah yang muncul terkait dengan Peningkatan status legalitas kelembagaan BUMDes dari Peraturan Desa (Perdes) menjadi legalitas akta notaris; pertama: BUMDes belum ada dasar hukum yang memayungi tentang keberadaan BUMDes di desa. Walaupun sebenarnya secara tersirat semangat untuk melembagakan BUMDes telah di amanatkan dan dipayungi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagaimana di amanatkan dalam Bab VII bagian Kelima yang menyatakan Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan pendirian BUMDes, maka berdasarkan pasal 78 PP 72 Tahun 2005 Tentang Desa, di jelaskan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota perlu menetapkan Peraturan Daerah (PERDA) Tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Namun kenyataannya niat baik dari amanat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut belum disambut baik oleh Pemerintah kabupaten/Kota dengan indikasi belum adanya Perda yang mengatur tentang pelaksanaan BUMDes sehingga proses peningkatan legalitas akan terganjal pada legitimasi Hukum BUMDes itu sendiri. Kedua; legalitas bentuk usaha juga menjadi masalah besar bagi UPK sebagai embrio BUMDes, karena UPK dalam kegiatan usahanya bergerak dalam Usaha Simpan Pinjam. Di negara manapun masalah usaha yang berkaitan dengan keuangan, moneter pasti diatur secara terkendali bahkan relatif lebih ketat di bandingkan usaha lainnya. Sementara itu, payung hukum tentang pelaksanaan usaha yang terkait dengan menghimpun dana dan menyalurkan dana (Usaha simpan Pinjam) di legitimasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan Undang-undang 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam bagi Koperasi. Berdasarkan hal tersebut dapat di simpulkan bahwa Badan usaha yang secara legal dapat melakukan kegiatan menghimpun dana dan menyalurkan dana atau usaha Simpan Pinjam (USP) hanyalah lembaga perbankan dan perkoperasian. Oleh karena itu ketika UPK/BUMDes melakukan kegiatan Usaha Simpan Pinjam maka hal ini akan terjadi ilegalitas usaha sehingga keberadaan usaha BUMDes tentunya kedepan akan menemui jalan terjal seiring semakin kritisnya sikap masyarakat. Oleh karena itu, tentunya pemerintah perlu segera mengakomodir legalitas usaha BUMDes melalui Undang-Undang mengingat peran BUMDes yang sangat penting di perdesaan.

Sementara itu ketika BUMDes mengalami kendala dalam proses pelegitimasian secara hukum positif oleh akta notaris dengan alasan belum ada payung hukum yang jelas tentang pengaturan pelaksanaan BUMDes maka akan memunculkan alternatif lain dalam pemilihan bentuk kelembagaan maupun usaha. Pemilihan bentuk kelembagaan dan usaha BUMDes harus tetap memperhatikan tujuan dasar atau khittah daripada Program Pemerintah tersebut, yaitu hakikat Program Pemerintah dengan hadirnya Unit Pengelola Keuangan sebagai embrio BUMDes adalah merupakan aset bagi desa atau dengan kata lain BUMDes adalah milik Desa yang harapannya dapat di jadikan alat untuk mensejahterakan masyarakat dan desa melalui peningkatan pendapatan ekonomi. Sehingga pemilihan bentuk lembaga harus dipertimbangkan dengan matang sehingga tujuan program tidak mengalami ketergelinciran tujuan atau mengalami pemindahan kekuasaan ataupun aset lembaga.

Dilematika akan dihadapi oleh BUMDes dalam pemilihan bentuk kelembagaan dan usaha, artinya bicara pada konteks kemiripan pengelolaan, maka antara UPK (BUMDes) mempunyai banyak kesamaan dalam semangat kebatinan dan dalam hal pengelolaannya dengan lembaga Koperasi, sehingga seharusnya dapat di mungkinkan pemilihan bentuk lembaga dan usaha BUMDes yang terbaik adalah Bentuk Koperasi. Namun ternyata setelah di analisa kritis, bentuk koperasi tersebut mempunyai potensi akan terjadi kegelinciran dari tujuan awal hadirnya program pemerintah tersebut turun kedesa dimana BUMDes adalah merupakan aset/milik Desa, maka ketika BUMDes di jadikan Koperasi maka Pemerintah Desa akan terhalangi wewenangnya dalam kepemilikan lembaga tersebut. Hal ini di karenakan bahwa pada dasarnya Koperasi merupakan milik anggota-anggota koperasi sehingga kekuasaan tertinggi adalah di tangan anggota koperasi. Hal ini berlandaskan bahwa hakikat pendirian koperasi adalah dari, oleh dan untuk anggota; maksudnya koperasi tersebut di dirikan dari para anggota, dikelola dan di kendalikan oleh anggota serta dalam aktivitasnya untuk melayani anggota. Dari uraian tersebut dapat di simpulkan bahwa anggota koperasi mempunyai identitas ganda,yaitu : Pertama: anggota sebagai pemilik; karena anggota sebagai pemilik maka kekuasaan tertinggi dalam koperasi adalah di tangan rapat anggota, dimana masing-masing anggota memiliki suara yang sama. Kedua ; anggota sebagai Pelanggan/Nasabah; pada dasarnya kegiatan usaha koperasi adalah sesuai dan sejalan dengan kepentingan anggota, oleh karena itu pasar potensial dari usaha koperasi adalah anggotanya. Sedangkan Pemilihan bentuk lembaga seperti Perbankan-pun juga di rasa belum memungkinkan karena proses pengurusan perijinan Bank sangat rumit dan belum tentu dapat di penuhi oleh Desa.


Penulis : Konsultan Pengembangan UPK Gerdu-Taskin

Related Post



0 komentar:

Posting Komentar

KOMENTAR